Cerpen

Satu Cahaya Keimanan

Minggu 20 Maret 2016 | 23:24 WIB
Oleh: Nurkhumaira Tusdayu

“Anisa, kamu pulang duluan aja ya? Aku mau ketemuan sama Mbak Asih.” Iqlima berkata kepada Anisa yang sedang memakai sepatu di depan musolah setelah shalat dzuhur.

“Oo gt. Mbak Asih itu siapa?” Tanya Anisa sambil mengalihkan padangannya ke wajah Iqlima.

“Mbak Asih, itu loh, Nis, narasumber seminar sehari kemarin.” Jawab Iqlima sambil mengikat tali sepatu sebelah kanannya.

“Oo, ko Mbak Asih bisa kenal sama kamu.” Ucap Iqlima sambil berdiri dan membenarkan jilbab putih yang dikenakannya.

“Ya, karena kemarin pas seminar pertanyaanku paling bagus katanya. Makannya Mbak Asih inget aku dan sms aku. Ok, Anisa. Aku duluan ya? Nanti tolong kasih tahu ibuku. Tadi aku lupa kasih tau, soalnya mbak Anisa ngajak janjiannya mendadak si.” Dengan antusian yang tinggi Iqima pun melangkah dengan pasti menuju gerbang sekolah dan meninggalkan Anisa yang masih terpaku di depan musolah.

Anisa aneh dengan sikap Iqlima, terutama dengan ajakan Mbak Asih kepada Iqlima. Mbak Asih adalah orang asing bagi mereka. Anisa berkata dalam hati kecilnya, kenapa Iqlima tak mengajaknya untuk ikut. Anisa tak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

***

Perkatannya mulai aneh ya. Itu adalah ucapan batin Anisa saat mendengar Iqlima berkisah tentang perjalanan selama sehari kemarin bersama Mbak Asih. Walaupun demikian,  Anisa tetap berusaha untuk mendengarkannya dengan seksama. Dengan ucapan yang semangat Iqlima membicarakan pertemuannya dengan Mbak Asih.

“Ya Anisa, kita harus berjihad melawan kemungkaran dengan tindakan yang tegas. Bla.. bla.. dan bla… “ Iqlima mengucap panjang kali lebar,

Anisa mencoba untuk memahami maksud perkataan Iqlima. \Anisa memotong dengan sebuah pertanyaan, “Kamu tahu siapa ketuanya?”

Iqlima diam sejenak, wajah menunjukkan kesan tak tahu pasti, Anisa mengetahui itu. Dan Iqlima pun berkata, “Mbak Asih bilang ya, belum waktunya aku tahu.” Anisa mulai curiga, hati kecilnya berkata, “Aneh, masa nggak tahu si siapa yang jadi ketuanya.” Iqlima mulai melanjutkan pembicaraannya, “Tenang aja Anisa sebentar lagi aku tahu ko. Aku harus naik tingkatan dulu ke tahap atas seperti Mbak Asih, baru aku tahu siapa ketuanya.”

Anisa semakin curiga dan memberanikan diri untuk berbicara secara perlahan agar Iqlima tak tersinggung denga ucapannya, “Iqlima, setidaknya setiap anggota dalam organisasi pasti tahu, siapa ketuannya, ya seperti OSIS di SMA kita. Semua orang tahu Andi ketua OSIS SMA kita. Lalu, mencurigakan sekali apabila kamu nggak tahu siapa ketua organisasi yang kamu ikuti sekarang.”

Iqlima seolah tak mendengarkan ucapan Anisa. Meskipun Anisa berkata sepeti itu Iqlima tetap punya argumen sehingga perkataan Anisa, sepupu dekatnya terkalahkan oleh argumennya. Anisa tak punya cukup kecerdasan untuk menjelaskan kepada Iqlima.

***

Anisa sedang menyapu halaman rumahnya. Kemudian, ibu Iqlima pun menghampiri Anisa dan bertanya padanya dengan ekspresi wajah yang cemas, “Anisa, kamu tahu Iqlima menginap di rumah siapa?”

Anisa kaget mendengar hal tersebut. Iqlima menginap tak seperti biasanya sepintas pikirannya berkata seperti itu. Ibu Iqlima melanjutkan pertanyaannya untuk menyakinkan keraguan yang ada di wajah Anisa. “Ya, dia bilang mau pergi si tapi nggak bilang mau ke mana?” Jawab Ibu Iqlima dengan nada khawatir.

“Ini sudah hampir dua hari Anisa.” Lanjut Ibu Iqlima.

“Bude. Anisa nggak tau Iqlima menginap di mana. Bude udah hubungi Iqlima?” Tanya Anisa sambil mengajak Bude untuk duduk di ruang tamu.

“Bude udah hubungi berkali-kali tapi hpnya nggak aktif, Nis. Malahan nanti malam Pakde kamu udah pulang dari tugas dinasnya. Bude harus bilang apa ya?” Ucap Ibu Iqlima dengan raut wajah kebingungan.

“Ya, Bude. Nanti, Anisa coba hubungi teman-teman yang lain.” Kata Anisa agar kecemasan Budenya hilang perlahan.

“Baiklah kalo gitu, Nis. Nanti kabarin Bude ya?” Pinta Ibu Iqlima sambil berdiri dan menggeser kursi jati.

Anisa khawatir maka ia menceritakan tentang obrolan antara dia dan Iqlima beberapa hari yang lalu. “Bude, tunggu sebentar, Anisa ingat sesuatu.” Ucap Anisa.

“Apa itu, Nis?” Tanya Bude sambil duduk kembali.

“Dua hari yang lalu Iqlima pernah cerita tentang jihad, Bude.” Ungkap Anisa sambil memandang kedua bola mata Budenya.

Anisa menceritakan dari awal sampai akhir semua pembahasan yang disampaikan Iqlima. Ibu Iqlima menyimak dengan seksama. Mendengar hal tersebut Ibu Iqlima yang biasa dipanggil Bude oleh Anisa, semakin cemas mendengar cerita itu. Anisa berusaha untuk menguatkan hati Budenya.

***

Anisa bergegas ke rumah Iqlima untuk mengetahui keadaan Iqlima setelah dua hari pergi tanpa kabar. Sesampainya di rumah Iqlima, dia melihat Iqlima sedang duduk di ruang tamu bersamaa ayah dan ibunya. Ia masuk dan duduk di sebelah Iqlima. Ayah Iqlima mengatakan dengan tegas bahwa organisasi yang Iqlima ikuti dua hari kemarin adalah organisasi illegal yang pada akhirnya akan menanamkan pemahaman jihad secara radikal.

Anisa mendengarkan baik-baik ucapan ayah Iqlima sambil sesekali melihat Iqlima. Anisa khawatir Iqlima terlampau memahami ajaran radikal yang ditanamkan oleh organisasi tersebut. Iqlima hanya diam seribu bahasa dan menunjukkan padangan mata yang bingung. Anisa dapat melihatnya dengan jelas. Ibu Iqlima juga menyadari hal itu maka dengan nada yang lebih halus ibu Iqlima menambahkan ucapan suaminya. Dengan nada hati-hati ibu Iqlima mulai menjabarkan kembali apa yang diucapkan oleh suaminya. Iqlima pun masih diam.

Aku semakin khawatir dengan psikologis Iqlima. Setelah ayah dan ibunya selesai, Iqlima pun mulai angkat bicara, mencoba menjelaskan bahwa organisasi itu bertujuan amal maruf nahi mungkar. Ayah Iqlima yang sudah tahu asam garam organisasi kembali menegaskan kepada Iqlima bahwa organisasi tersebut menanamkan pemahaman jihad secara radikal dengan berujung pada bom bunuh diri.

Ayah Iqlima meminta kepada Tara untuk mengambil papan tulis di ruang kerjanya kemudian menjelaskan tentang asal mula orgAnisasi tersebut. Iqlima dan aku memperhatikan dengan seksama. Iqlima pun mencoba untuk mengerti penjelasan ayahnya. Aku masih khawatir karena wajah Iqlima tak menunjukkan kesan memahami secara penuh penjelasan ayahnya.

***

“Iqlima, kamu baik-baik  ajakan?” Tanya Anisa dengan cemas.

“Entalah, Nis.” Jawab Iqlima singkat.

“Kamu nggak benar-benar menyakini pemahaman yang diajarkan oleh organisasi tersebut kan?” Tanya Anisa dengan hati-hati.

“Aku bingung, Nis.” Jawab Iqlima dengan nada tak mengerti.

“Bingung kenapa?” Ucap Anisa.

“Ya, ko ada ya pemahaman seperti yang diajarkan Mbak Asih. Kenapa harus seperti itu? Kenapa islma tak benar- benar bisa bersatu. Kenapa begitu banyak perpecahan yang ada? Akibatnya kamu bisa lihat sendiri kan Nis, Umat islam kita jadi lemah dan terjajah oleh perpecahan itu? Kenapa organisasi itu mengatakan umat islam lain menjual dengan harga yang murah. Padahal dia sendiri yang menjual dengan harga yang murah.” Tanya Iqlima.

Anisa seolah tak cukup mampu untuk menjawab pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh Iqlima. Ia hanya bisa diam sejenak dan tersenyum memandang Iqlima. Ekspresi wajah, Anisa membuat Iqlima memahami bahwa semua akan baik-baik saja dan kamu pasti akan menemukan jawabannya sendiri.

***

Kejadian itu membuat Bude memberikan amanat kepada Anisa.

“Anisa, Bude titip Iqlima ya? Walaupun Bude tahu, ini adalah universita swasta dibawah naungan sang pencerah dan dulu Pakdemu mendapat gelar sarjana di sana. Namun, Bude masih merasa khawatir karena kejadian tempo hari yang meinpa Iqlima.” Ungkap Ibu Iqlima dengan terus terang.

“Ya, Bude, Nisa mengerti. Sebenarnya, Nisa mau pidah jurusan tapi nanti tidak satu tempat dengan jurusan Iqlima. Nisa, akan urungkan niat untuk pindah Bude agar nisa bisa tahu aktivitas Iqlima.” Jawab Anisa.

***

“Acara Perkenalan kampus ya, seru, Iqlima.” Ucap Anisa ketika di dalam bus saat perjalan pulang.

“Ya. Nggak nyangka acaranya bakal selama ini. Perkenalan kampus dua hari dan ada acara perkenalan dasar-dasar Islam selama tiga hari.” Jawab Iqlima dengan semangat 45.

“Ini pengalaman yang menakjubkan. Ya, setidaknya aku merasa lebih baik berada di universitas ini walaupun bukan negeri.” Lanjut Anisa sambil menunjukkan wajah murung sejenak.

“Udah, universitas yang kita pilih nggak kalah ko sama universitas negeri impianmu di Jakarta Timur, Nis.” Hibur Iqlima.

Perkenalan kampus dan perkenalan dasar-dasar islam di bawah panji hijau sang pencerah di universitas swasta favorit berwarna unggu yang berpusat  di Kebayoran Baru menambah pemahaman Iqlima dan Anisa tentang Islam yang sesungguhnya. Mereka, kini lebih memahami dan mengetahui dalil naqli tentang ibadah. Mereka merasa sudah seharusnya umat islma mengetahui dalil sebelum menjalankan perintah Allah Swt.

Perkenalan dasar-dasar Islam yang diusung oleh organisasi Islam di universitas tersebut  adalah “Islam for Peace and Humanity”. Iqlima dan Anisa sangat tertarik dengan tema yang diusung tersebut. Melalui tema itu mereka benar-benar memahami bahwa ajaran Islam yang sebenarnya adalah rahmatan lilalamin (rahmat bagi semesta alam).

Kegiatan awal di panji sang pencerah membuat Iqlima mampu menjawab segala pertanyaan yang dahulu dilontarkan kepada Anisa. Pertanyaannya yang membuatnya bingung dan tak habis pikir tentang pemahaman yang dianut oleh organisasi dahulu. Kini, panji sang pencerah melalui nuansa unggu kembali membuka pemikiran dan pemahan baru bagi Iqlima bahwa ajaran islam yang sebenarnya itu bersifat modern dan berkemajuan yang akan selalu sejalan dengan perkembangan zaman. Bukan islam yang egoistis dan mengedepankan kekerasan, terorisme yang berujung pada bom bunuh diri.


Bekasi, 26 Mei 2015

BIODATA

Nurkhumaira Tusdayu. Nama pena saya adalah Maira Tusdayu. Lahir di Bekasi, 11 Juni 1991. Dapat dihubungi melalui FB: Nur Khumaira Tusdayu, Email: cahayamega03@gmail.com. Nomor HP: 089655500582. Saya pernah menulis beberapa puisi dan cerpen yang telah dibukukan.

Berita Terkait

Komentar