Inspirasi

Makna Kebahagiaan Sesungguhnya

Minggu 06 Maret 2016 | 21:38 WIB
Oleh: Adang Adha

Visione - Dalam sebuah penelitian, disebutkan jika ada orang yang diminta untuk memberikan pernyataan terhadap sesuatu dan di ahir peneliti bilang bahwa pernyataanya itu salah kendatipun pernyataanya benar maka lebih dari 60% orang akan ragu dengan pernyataanya dan mengubah pernyataanya.

Menariknya pernyataan bisa berubah jika ada pihak otoritas yang dianggap punya pengetahuan mengatakan pernyataan kita salah. sepertinya begitupun demikian dengan kebahagiaan. Standar bahagia orang dapat berubah dengan pengaruh dari lingkungan luar.

Di Indonesia bahagia ditanamkan oleh masyarakat jika, bisa menaikkan haji orangtua, memiliki anak yang soleh dan lain sebagainya, di Eropa lain lagi, bisa punya kebebasan, tidak memiliki anakpun tidak masalah, membahagiakan orangtua bisa jadi standar kebahagiaan. lain lagi kebahagiaan di daerah India, cukup bahagia jika mampu merasakan penderitaan dengan bertapa.

Jadi apa itu kebahagiaan?

Apakah kebahagiaan itu mindset? Apakah kebahagiaan itu perilaku? Apakah kebahagiaan itu apa yang didapatkan?
Dalam behaviorisme apakah bahagia itu anteccedent, behavior ataukah consequence? niknya manusia mendefinisikan kebahagiaan nantinya akan berbeda beda, padahal membicarakan hal yang sama.

Kalau dengan bahasa Clean Language David Grove nya Apakah Bahagia yang Bahagia itu? Definisi semua orang akan jadi benar semua, karena apa? Karena itulah sebatas pemahaman orang tentang bahagia, bahagia level ibu rumah tangga beda dengan bahagia level wanita karir, bisa paham dengan apa yang saya maksud? apakah bahagia itu melepaskan? atau mendapatkan? bisa jadi keduanya benar tergantung level orang yang mendefinisikan.

Saya mencermati seringkali seorang terapis, coach, conselor tidak tahan untuk mau menanamkan konsep kebahagiaanya pada klien, misalnya dengan kalimat begini, “apakah anda tidak bahagia jika melihat anak anda berhasil?” lalu si klien memikirkan apa yang baru saja ia dengar, mengolah olah rasanya dan memutuskan bahagia jika melihat anaknya berhasil. padahal sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya. apakah boleh? ya sah sah saja, tergantung apa pandangan anda terhadap terapi , coaching atau konseling. Namun bagi saya pribadi tugas saya sebagai seorang terapis, coach ataupun konselor adalah cukup menyadarkan bahwa klien punya mindset, perilaku dan konsekuensi yang tidak efektif untuk kehidupannya pribadi, bukan kehidupan saya sebagai standarnya.

jadi apa itu bahagia? bagaimana mungkin ada pencuri kebahagiaan jika ada orang yang tidak punya konsep tentang bahagia?

Adang Adha

Leadership Coach | Behavior Programme

Berita Terkait

Komentar