Semuntik, Badau, Kapuas Hulu
Wajah-wajah pias kembali terduduk
Terbata asa tak kunjung tiba redakan remuk
Menanti derap langkah guru-guru merajuk
Mulai bosan susuri panas terik menusuk
Mulai lupa lenguh bangsanya yang terbatuk
Jari-jari mungil itu kini menjadi batu
Mengeras hati menahan gerutu
Setiap hari hanya melahap angin berdebu
Setiap hari hanya pandangi papan tulis kelabu
Setiap hari hanya tangisi baris kosong bukubuku
7 KM
Jarak itu tak lantas robohkan nyali
Satu jam lintasi jalanan kotor becek pagi hari
Tiada aspal, tak pula angkutan,
Hanya kulit-kulit jelata mengeras di bawah kaki
Mengutuk nasibmu tak jua menyingkir menepi
Demi terbungkam dahaga pendidikan yang mulai mati
Mendatangi derit pintu-pintu sekolah yang mulai sunyi
Semuntik, Badau, Kapuas Hulu
Di perbatasan itu nasionalisme-idealisme diadu
Dirayu upah melimpah dan merah-putih diinjak-injak malu
Antara hitam dan putih tak lagi bisa dicerna qalbu
Antara lacur dan jujur tak lagi bisa dinalar waktu
Tinggal menunggu takdir berpihak pada semu
Atau kembali pada pertiwimu yang terbujur kaku
Menanti geliatmu menata hari esok yang baru
------
Tangerang, 13 Agustus 2013
MEIDI CHANDRA. Lahir di Tangerang, 20 Mei 1985. Penulis adalah alumnus Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009. Saat ini penulis terdaftar sebagai anggota dalam komunitas kepenulisan nusantara Jaringan Pena Ilma Naafi a.