Etika dan Hukum belakangan marak menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya beberapa hari ini banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara negara, mulai dari kasus ketua Mahkamah Konstitusi yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden hingga kasus yang terjadi beberapa hari ini terkait ditetapkannya Ketua KPK sebagai tersangka pemerasan.
Laksana dua sisi mata poin Etika dan Hukum pada hakikatnya memang tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan entitas yang saling berkaitan tetapi dalam penegakannya memiliki cara yang berbeda. Menurut Filsafat bahwa tingkatan dalam hukum berawal dari nilai, asas, dan Undang-undang, dalam konsep tesebut etika berada pada tataran norma dan asas sehingga kedudukan etika lebih tinggi dari hukum dan bukan sebaliknya dimana hukum lebih tinggi dari etika.
Ketika hukum dipandang lebih tinggi dari etika maka tentu akan menimbulkan kekacauan dimana-mana, misalnya saya dan mungkin hampir seluruh masyarakat Indonesia akan sangat geram ketika melihat seorang pejabat negara yang sudah jelas bersalah tetapi harus dibiarkan bebas berkeliaran baik karena prosedur formal hukum yang tidak memadai atau berlindung dibalik praduga tidak bersalah, bahkan berlindung dibalik power entah itu kekuasaan ataupun uang sehingga lembaga peradilan seolah tidak berdaya untuk menyentuhnya. Sehingga berkali-kali pula kita menyaksikan koruptor bebas melenggang dari jeratan hukum dan semakin kokoh di puncak karirnya padahal secara nyata telah melakukan pelanggaran.
Di Negara-negara demokratis, hakikatnya hukum telah menyatu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga setiap pelanggaran etik memiliki implikasi yang setara dengan pelanggaran hukum. Banyak pejabat di luar nagari sana yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya meskipun baru diduga melakukan pelanggaran etik tanpa harus diputus diberhentikan secara tidak hormat oleh Majelis Kehormatan. Bagi mereka semua itu adalah merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang harus dijunjung tinggi bukan justru dipandang lebih rendah dari jabatan dan kekuasaan.
Di Indonesia hal semacam ini masih jauh antara panggang dan api, pejabat di Indonesia itu hanya akan mundur dari jabatannya apabila menurut Undang-Undang dia harus diberhentikan, tidak akan berpengaruh terhadap besar dan kecilnya pelanggaran yang telah dilakukan. Maka wajar apabila ada anekdot yang menyebutkan bahwa apabila di Jepang terjadi kecelakaan perlintasan kereta api yang diberhentikan adalah Menteri Perhubungannya maka di Indonesia apabila terjadi kecelakaan perlintasan kereta api yang diberhentikan adalah putugas penjaga palang pintu, itu menunjukan bahwa masih jauhnya perbandingan nilai etik di Indonesia.
Apabila kita melihat kasus beberapa hari yang lalu yaitu kasus ketua Mahkamah Konstitusi yang diberhentikan oleh Majelis Kehormatan MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil Presiden menjadi daftar panjang pelanggaran etik di Indonesia. Bagaimana tidak, the guardian of the constitution) kini berubah menjadi “Mahkamah Keluarga”. Ini tentu akan menjadi Preseden buruk dalam Penegakan Konstitusi, setidaknya dapat dilihat melalui tiga hal yaitu pertama, Sapta Karsa Hutama atau Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi telah menentukan bahwatersebut memiliki hubungan keluarga dengan susbtansi yang ada dalam perkara. Berdasarkan Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, menurut Bintan R Saragih selaku anggota Majelis Kehormatan MK perwakilan akademisi bahwa Ketua Hakim MK pantasnya bukan diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi tapi dipecat secara tidak hormat sebagai hakim konstitusi karena telah menciderai marwah MK sebagai lembaga penjaga Konstitusi.
Kedua, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil Presiden yang telah di ketuk oleh ketua MK adalah bersifat final and binding sebagaimana diatur dalam Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 sehingga tidak ada lembaga manapun yang dapat mengoreksi putusan MK itu meskipun lahir dari cara yang bertentangan dengan etik, meskipun berlaku prinsip lex iniusta non est lex. Maksudnya, ketika hukum positif secara terang benderang berseberangan dengan moral, maka tidak layak lagi dianggap hukum karena telah mengalami pembusukan hukum.
Ketiga, yang paling mahal dari semua hal tersebut diatas adalah sudah tentu hilangnya kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi yang notabene adalah lembaga yang dipercaya sebagai Penjaga Konstitusi Negara, apabila masyarakat sudah tidak lagi percaya terhadap Lembaga atau Institusi Negara seperti MK maka sulit Negara ini keluar dari segala permasalahan konstitusional yang menjadi tujuan awal didirikannya lembaga ini misalnya menyelesaikan sengkata pemilu dan sebagainya karena keputusannya tidak lagi memiliki integritas dan legitimasi di tengah-tengah masyarakat akibat nila setitik maka rusak lah susu sebelangga.
Oleh karena itu sebelum saya akhiri opini ini ijinkan saya mengutip ungkapan Ahmad Redi dalam Onibuslaw Metode Sakti Mengatasi Kebuntuan Praktik Berhukum :
Si pemegang daulat membentuk hukum, hatinya harus murni dan jernih, pikiran harus lurus, tidak belok-belok, berilmu tinggi, lalu banyak-banyak berdoa. Apabila hatinya kotor dan bernoda, angkara akan merasuki, jadilah karya yang berlumur petaka. Ibarat menempa keris, menempa pasal-pasal dalam kitab hukum pun demikian, si Empuh harus bersih, jernih, memasrahkan diri pada sang khalik, tak bernoda akal pikir dan jiwanya, panjatan doanya menembus langit. Bila bernoda, ditunggangi durjana, susahlah rakyat banyak, susahlah alam, susahlah anak cucu, lalu hancurlah negaranya. Itulah moralitas hukum si pemegang daulat.