JAKARTA – Ada banyak hikmah yang dapat diraih dari perjalanan hidup Syaikh Hasyim Asy’ari, terutama terkait sikap keIslaman dan kebangsaannya. Di satu sisi beliau dapat bersikap kooperatif, namun dalam hal-hal yang prinsipil beliau tetap tegas.
“Beliau bersedia menjadi sumbu pada zaman pemerintahan Jepang, tetapi dalam waktu yang sama beliau juga menolak senam ritual yang berbasis dari keyakinan jepang mempercayai dewa matahari, dan selanjutnya beliau juga mengobarkan semangat jihad menentang invasi tentara NICA”, kata Mukhlas Syarkun, sesepuh GP Ansor dalam Seminar Pemikiran Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari di Gedung DPR-MPR (Sabtu, 6/5/2017).
Mukhlas Syarkun menerangkan, bahwa sikap beliau menerima menjadi sumubu adalah mengajarkan bahwa dalam domain mua’amalah termasuk di dalamnya politik, kita harus dapat bekerjasama dengan siapa saja, dan memang demikian yang dicontohkan oleh nabi dengan membuat Piagam Madina sebagai konsep Negara bangsa.
“Menurut para ilmuan Barat dan khususnya kaum orientalis mengakuai bahwa konsep piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW ini dinilai sebagai fondasi lahirnya negara-negara modern yang beradab”, ujarnya.
Meski begitu, kata Mukhlas, Mbah Hasyim juga pernah dengan tegas menolak senam berbau ritual, yang menunjukkan kuatnya beliau memegang prinsip, sebagai bentuk sikap seorang ulama’ panutan yang oleh al-Qur’an digambarkan “Yakhsyallah” (yaitu takut kepada Allah).
“Keteguhan beliau menolak ikut senam ritual bukan bermakna sebagai sikap radikal, tetapi merupakan bentuk kuatnya memagang prinsip, dan sikap yang sangat porposional, dan mengajarkan kita untuk tetap memegang prinsip terutama yang menyangkut keyakinan, bahwa kita bisa hidup berdampingan dalam domain public, tetapi kita harus mempertahankan keyakinan privat, bukan terhanyut dalam amalan zindik”, kata mantan pengurus Pusat GP Ansor (2000-2005) ini.
Hikmah terpenting yang dapat dipetik dari Syaikh Hasyim Asy’ari adalah semangat juangnya ujar Mukhlas Sarkun. Ketika melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi pimpinan Mbah Hasyim mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad.
Dalam sebuah surat resminya kepada pemerintah Belanda, beliau mengatakan, ”Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat ”sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.”
Dengan demikian, Resolusi jihad yang digelorakan oleh Bah Hasyim adalah bentuk perlawanan fisik melawan dominasi penjajah dengan mengorbankan harta dan bahkan nyawa, ini adalah sikap patriotik dan harus diteruskan untuk mengobarkan semangat nasionalisme, sebagai benteng mengawal NKRI.
Mukhlas Sarkun memaparkan, bahwa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai rais akbar NU telah memberi sumbangan besar terhadap lahirnya NKRI yang dimulai dari memoderatkan paham ahlus sunnah walamah (Aswaja). Beliau juga menggelorakan semangat persatuan dan diteruskan dengan konsep negara damai (Darus Salam) sehingga mampu menghantarkan ke pintu gerbang kemerdekaan.
“Pada saat kemerdekaan itu menghadapi tantangan beliau mengeluarkan resolusi jihadnya yang pada akhirnya berhasil menjadikan NKRI ini tetap eksis sebagai bangsa yang merdeka bardaulat dengan tetap menghargai perbedaan sebagaimana visi Bhinneka Tungga Ika”, tegasnya. [cr-7]