Jakarta adalah magnit bagi siapa pun di Indonesia. Kota metropolitan ini dipenuhi landmark dan monumen maha penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Sayangnya, ketika kita atau siapa pun mulai menyusuri jalanan ibukota, kesan dan ketakjuban akan landmark dan monumen itu pun sekejap hilang.
Pepohonan kecil dan bunga-bunga berwarna-warni berganti dengan kerumunan orang yang berbaris rapi di pinggiran jalan protokol. Telunjuk kiri mereka sesekali diacungkan ke atas, sebagai isyarat bila mereka adalah joki yang siap membantu para pengendara untuk lolos dari aturan 3 in 1.
Terkini adalah demo anarkhis para pengemudi taksi yang menuntut agar pemerintah segera melarang angkutan transportasi berbasis online. Atas nama peraturan Undang-Undang para pengemudi tersebut merasa dirugikan, lalu melakukan sweping terhadap driver ojek dan angkutan berbasis online lainnya. Bentrokan fisik pun tak dapat dihindari.
Mungkin benarlah kiranya, jika seorang pemimpin adalah; Ing ngarso sung tuladha (di depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan), demikian kata bijak Ki Hadjar Dewantara yang menjadi landasan filosofis dalam karakteristik kepemimpinan ideal. Dengan kata lain, pemimpin yang ideal adalah seseorang yang memiliki karakter kuat, punya visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera rakyatnya.
Terlalu ideal? Mungkin. Tapi setiap kelompok masyarakat tentu akan menuntut yang terbaik dari siapa pun yang menjadi pemimpin mereka. Dan seperti itu pula ekspektasi masyarakat terhadap sosok pemimpin Jakarta yang dalam rentang beberapa bulan mendatang akan dilakukan suksesi. Secara teoritis, pemimpin Jakarta juga diyakini sangat paham tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin: dia harus paham hati dan pikiran masyarakat.
Gary Yukl dalam bukunya Leadership in Organizations (1994), menilai bahwa sikap dari para pengikut, dalam hal ini masyarakat, terhadap pemimpin adalah salah satu indikator umum dari efektivitas seorang pemimpin. Sejauh mana seorang pemimpin memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan harapan mereka? Apakah masyarakat menyukai, menghormati, dan mengagumi pemimpin tersebut? Apakah masyarakat mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan permintaan-permintaan dari pemimpin, ataukah mereka akan menentang, mengabaikan atau menumbangkannya? Sikap masyarakat ini biasanya diukur melaui survei. Jadi, ketika survei terus menunjukan penurunan popularitas, boleh dibilang, trend pemerintahan pemimpin mulai tidak efektif.
Untuk sebuah kepemimpinan di Jakarta, tentu saja, krisis otentisitas adalah penyakit serius. Kepemimpinan harus terus-menerus otentik. Ketika pemimpin menyatakan perang melawan korupsi—sambil mengaku siap menghunus pedang—maka ia dan lingkungannya tak boleh terlibat dalam aksi korupsi. Ketika ia menyerukan agar politik harus dilakukan secara santun, semestinya ia tak membiarkan orang-orang terdekatnya berperilaku galak.
Seringkali pula Ahok mengimbau rakyat untuk tidak reaktif kala menyikapi setiap peristiwa. Tapi kita kerap tahu, siapa sebenarnya yang suka bersikap reaktif, ngambekan, dan tidak matang menghadapi kritik. Gayanya yang lambat dan tidak tegas sering ditutupi dengan istilah ”mengambil langkah-langkah yang matang dan terukur”, padahal hanya berputar-putar bingung.
Di tengah pelbagai persoalan yang mencerminkan krisis otentisitas, rendahnya efektivitas, hingga menurunkan popularitas seorang pemimpin, sebenarnya dapat ditarik benang merah yang menghubungkan setiap persoalan tersebut. James MacGregor Burns, dalam Leadership (1978), menyatakan, krisis kepemimpinan terutama ditandai oleh kemerosotan kualitas kepemimpinan politik dalam organisasi. Burns melihat pentingnya pertanggungjawaban kepemimpinan. Ia mengamati struktur motivasi, nilai-nilai dan berbagai tujuan, membedakan kepemimpinan satu sama lain dalam hal pengaruh dan kualitas. Burns menekankan kepemimpinan transformasional dan pentingnya kolektivitas dalam kepemimpinan politik.
Penjelasannya cukup rasional, bahwa “one-man leadership” atau kepemimpinan terpusat pada seseorang itu kontradiksi interminis. Pemimpin politik bekerja dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan basis pendukungnya. Kepemimpinan tunggal dan terpusat dengan sendirinya akan rapuh, justru karena mengabaikan potensi kolektivitas.
Dalam kasus Ahok, karena pola kepemimpinan yang terpusat, potensi dan kebutuhan para pendukungnya seakan tidak terkelola dengan baik dan tak terartikulasikan secara optimal. Maka, para pendukung ini mencari caranya sendiri-sendiri untuk menarik perhatian sang pemimpin dan bisa masuk atau bertahan dalam lingkaran terdekat.
Kepemimpinan tidak efektif karena sang pemimpin sibuk mengurusi kepentingan politik internalnya. Sementara orang-orang dekat, all the president’s men, banyak berperilaku bak Sengkuni. Praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti menjadi pemandangan yang sangat lumrah. Mulai dari level tertinggi para pemimpin negara, hingga ke level terendah di masyarakat, praktik abuse of power sepertinya yang lebih banyak diperlihatkan ketimbang penggunaan kekuasaan itu secara benar. Merebaknya korupsi hampir di setiap lini masyarakat, adalah indikasi terjadinya abuse of power dari para pemimpin politik.
Praktik abuse of power ini juga kerap bersinggungan dengan kepemimpinan yang mendua antara negara satu sisi dan partai di sisi yang lain. Kepemimpinan politik yang efektif seharusnya bisa mengelola konflik kepentingan yang biasanya terjadi antara partai dan kepentingan negara. Negosiasi, konsesi dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat, sehingga tidak mengganggu kinerja kepemimpinan nasional dalam mengelola negara.
Kini—menjelang akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Jakarta, harapan masyarakat terhadap Ahok agar bisa membuat keadaan Jakarta lebih baik semakin pudar seiring dengan kian merosotnya tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinannya. Hal ini bisa kita lihat sebagai dampak kekhawatiran publik bahwa kinerja Ahok yang lebih banyak mengurusi Taman Kota ketimbang persoalan warga Jakarta di pinggiran.
Apa yang ditanam itulah yang dituai. Begitulah pribahasa yang kita kenal. Bila kita menanam benih yang baik dalam kepemimpinan kita, niscaya akan berbuah kesuksesan yang abadi bagi masyarakat. Sebaliknya, bila kepemimpinan terlalu disibukkan dengan yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok, maka kekecewaan dan ketidakpuasan yang akan bersemai di masyarakat. Masih untung pemimpin yang seperti ini bisa menyelesaikan masa jabatannya, walaupun dengan hasil yang sangat tidak memuaskan masyarakat.
Dari pemimpin seperti ini tentu kita tidak bisa berharap suksesi kepemimpinan di Jakarta atau nasional secara lebih luas akan berjalan baik. Begitu pun dengan problem-problem yang masih menyelimuti masyarakat. Karenanya jangan terlalu berharap pemimpin dengan karakter seperti ini bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Yah, yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah pemimpin yang otentik serta organik. Yang mengerti kebutuhan warganya.*