Permohonan yang sungguh-sungguh disertai iman yang teguh dan kerendahan hati, telah mengetuk hati Tuhan dengan belas kasih, kesembuhan dan keselamatan (Matius 15 : 21 – 28). Di usia saya kepala lima sering melakukan aktivitas tanpa kesadaran. Pagi itu saya berangkat kerja naik motor. Kurang lebih jalan dua ratus meter tiba-tiba saya memikirkan pintu rumah sudah dikunci atau belum. Karena tidak ada bukti meyakinkan mau tidak mau saya putar balik ke rumah untuk memastikan. Begitu handel pintu saya buka pintu bergeming, saya lega. Ternyata saya tidak lupa mengunci. Tapi saya tidak puas. Nurani saya berbisik lirih: Sampai kapan sampeyan akan begini terus?
Tidak Sadar
Saya biasa melakukan aktivitas secara multitasking. Olah raga angkat beban sambil menyapu dan merebus ati sapi untuk makan anjing peliharaan. Begitu meletakan barbel saya langsung meraih sapu dan berlari kecil ke lantai atas. Sasaran pertama kamar anak dan kamar saya. Keluar dari kamar kedua, saya lekas turun angkat barbel lagi melanjutkan set kedua. Begitu seterusnya sampai pindah menyapu dilantai bawah. Di saat saya menyapu di lantai bawah itu hidung saya mencium bau gosong dari arah dapur. Saya buru-buru meletakan sapu, lari ke dapur, dan mematikan kompor. Panci sudah kering, mengeluarkan asap hitam, bau, dan bentuk ati hitam menyerupai arang.
Saya bekerja di sekolah. Pimpinan saya membuat aturan semua guru-pegawai wajib doa bersama pagi sebelum bekerja dan siang sebelum pulang. Saya salah satu pegawai yang malas bergabung kegiatan rohani itu. Bukan tidak mengimani firman: Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” ( Matius 18:20). Tetapi saya tidak sreg saja. Saya menghindari doa bersama karena jengkel dengan oknum tertentu yang mengganggu kekhusyukan doa saya. Oknum tersebut setiap pemimpin ibadat (baca imam) mengakhiri ibadat dengan Bapak Kami dan Salam Maria. Sayang sekali mereka mengebut doanya dan menyalib pemimpin ibadat. Mana suaranya lantang. Katanya doa itu berkomunikasi dengan Tuhan. Mengapa harus tergesa-gesa, bahkan tidak mengidahkan pemimpin ibadat (imam). Buat apa doa buru-buru? Apa yang dikejar? Waktu lebih dari cukup untuk doa secara khusyuk, penuh penyerahan dan kebulatan hati. Berdoa penuh kesadaran. Seharusnya saya keluar dari ruang doa dengan hati damai dan bahagia, justru kecewa.
Saya iri dengan saudara umat Muslim. Mereka salat berjamaah kompak dan serasi. Setiap gerakan dan doa dilakukan secara kompak dan seragam. Gerakannya indah dilihat. Lafal doa bernada dan merdu di pendengaran. Tidak ada umat Muslim berani mendahului imam. Karena kalau itu terjadi doanya tidak syah. Saya merindukan suasana seperti itu. Duduk rapi, mendaras doa rosario bersama dengan teman guru atau umat lingkungan tempat di mana saya tinggal. Berdoa dengan mata terpejam dan mengikuti irama yang dilantunkan imam. Saya yakin umat Nasrani doa bersama atau rosario dengan khusyuk dan terdengar merdu di telinga. Saya bisa membayangkan itu saja sudah senang.
Sadar
Supaya hidup damai dan bahagia aktivitas mengunci pintu rumah, merebus makanan anjing, berdoa, dan kegiatan lain harus dilakukan dengan kesadaran. Setiap pribadi punya trik atau rumus sendiri. Belum tentu rumus orang lain cocok diterapkan pada setiap. Untuk meyakinkan saya sudah mengunci setiap memutar anak kunci saya ucapkan ‘satu’ begitu bunyi klik, dan ‘dua’ di klik putaran kedua.
Multitasking, mengerjakan dua atau lebih pekerjaan secara sekaligus boleh asal dengan kesadaran. Sejak kejadian beberapa kali mengalami musibah gosong merebus ati sapi, saya mengikuti nasihat istri. Pasang alarm begitu selesai meletakan panci di atas tungku kompor. Sejak menurut nasehat istri, saya bisa olah raga dan bebenah rumah dan mengurus hewan peliharaan dengan lancar dan bahagia.
Bagaimana untuk urusan doa? Tentu kembali pada pribadi masing-masing. Minimal sadar dulu tujuan berdoa itu apa. Menurut KBBI berdoa adalah mengucapkan (memanjatkan) doa kepada Tuhan. Untuk bertamu ke tetangga saja ada norma dan au, apalagi berdoa. ada aturannya. Untuk tahu aturan butuh yang namanya pengetahuan. Bisa lewat buku atau guru agama atau pemimpin keagamaan. Oknum yang gemar berdoa mendahului pemimpin ibadat saya yakin mereka tidak mau bertanya dan membaca buku tata cara berdoa yang benar dan baik. Atau mereka tahu tapi tidak menjalankan. Doa ya, doa saja. Tanpa rasa. Dalam istilah Sunan Kali Jaga doanya masih sembah raga, belum sembah rasa. Jika demikian setiap pribadi harus melakukan refleksi. Syukur-syukur melakukan retret pribadi dengan bimbingan Imam atau pendeta.
Semoga dengan permohonan yang sungguh-sungguh disertai iman yang teguh dan kerendahan hati, mengetuk hati Tuhan dengan belas kasih, kesembuhan dan keselamatan. Apakah Anda akan keukeuh berdoa dengan cara Anda selama ini?
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang