Rencana penggabungan unit usaha syariah (UUS) Bank BTN dengan Bank Muamalat Indonesia terus bergulir. Kementerian BUMN meskipun tidak terlibat langsung dalam proses negosiasi bisnis, namun memberikan lampu hijau kepada BTN untuk bernegosiasi dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Selain itu, Kementerian Agama selaku salah satu pemangku kepentingan di BPKH telah merestui rencana penggabungan usaha UUS Bank BTN dan Bank Muamalat, karena hal ini merupakan bagian dari penguatan industri perbankan syariah.
Persaingan industri perbankan syariah saat ini dinilai tidak sehat oleh Otoritas Jasa Keuangan, dimana Bank Syariah Indonesia (BSI) memiliki pangsa aset besar, sementara bank syariah lainnya memiliki aset tergolong kecil. BSI mencatatkan aset per September 2023 sebesar 319,85 triliun. Aset BSI sangat berbeda jauh dibandingkan bank umum syariah lainnya, seperti Bank Muamalat Indonesia (66,2 triliun), Bank Riau Kepri Syariah (28,24 triliun), Bank Aceh Syariah (28,23 triliun), dan Bank BTPN Syariah (21,95 triliun).
Rencana penggabungan antara UUS Bank BTN dan Bank Muamalat akan mampu menghasilkan aset sebesar 114,61 triliun, karena UUS milik bank BTN mencatatkan aset sebesar 48,41 triliun. Apabila rencana konsolidasi ini berhasil, maka bank hasil konsolidasi akan mampu menjadi pesaing utama dari bank BSI. Terlebih lagi apabila pemerintah kemudian menjadi bank hasil konsolidasi menjadi Bank BUMN. Hal ini tentu akan menjadikan persaingan bank syariah di Indonesia menjadi lebih kompetitif dan menarik.
Rencana penggabungan dua bank syariah ini mendapat penolakan dari sebagian pihak karena dinilai akan memberikan kerugian. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas bahwa warisan pendahulu yang telah bersusah payah mendirikan Bank Muamalat akan hilang. Selain itu, menurut beliau bahwa akan ada pengabaian amanat konstitusi apabila penggabungan ini masih terus dilaksanakan. Efisiensi yang terjadi adalah efisiensi yang tidak berkeadilan, dimana hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 4. Penggabungan dua bank syariah ini dikhawatirkan akan mengurangi keberpihakan sektor perbankan terhadap para pelaku UMKM, karena bank hasil merger akan fokus pada nasabah kelas besar dan meninggalkan kelompok kecil.
Selain alasan penolakan diatas, terdapat beberapa kendala yang perlu diantisipasi dalam proses penggabungan dua bank ini. Pertama, proses integrasi dua entitas perbankan yang berbeda membutuhkan suatu proses yang tidak sederhana. Apabila merger ini dilakukan, maka transisi harus dilakukan secara hati-hati. Kedua, merger seringkali menyebabkan ketidakpastian bagi karyawan dari kedua bank yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebijakan pemutusan hubungan kerja, restrukturisasi jabatan, atau perubahan lingkungan kerja. Ketiga, kedua bank mungkin memiliki budaya organisasi yang berbeda, sehingga proses mengintegrasikan budaya organisasi yang berbeda mungkin akan memakan waktu yang tidak sebentar di kalangan karyawan. Keempat, merger dapat menyebabkan gangguan sementara dalam pelayanan kepada nasabah, sehingga proses integrasi harus dapat dijalankan dengan baik agar tidak berdampak negatif terhadap kualitas layanan kepada nasabah.
Selain alasan penolakan dan kendala yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat beberapa keuntungan yang didapat dari penggabungan dua bank syariah ini. Pertama, secara nilai aset kedua bank yang akan digabungkan ini seimbang, tidak ada salah satu bank yang terlalu mendominasi. Hal ini tentu akan berdampak positif pasca penggabungan kedua bank syariah ini. Kedua, melalui merger kedua bank dapat menggabungkan produk dan layanan mereka, sehingga dapat meningkatkan diversifikasi portofolio pasca konsolidasi. Kedua bank syariah ini memiliki kekuatan segmen masing-masing. Bank Muamalat selama ini fokus pada segmen korporasi dan UKM, meskipun mulai tahun 2023 menggeser fokus pada ritel konsumen. Sedangkan Bank BTN Syariah memiliki keunggulan pada kredit pemilikan rumah. Konsolidasi kedua bank akan mampu menjadi kekuatan positif bagi industri perbankan syariah.
Ketiga, merger kedua bank ini akan mampu menghasilkan efisiensi biaya yang signifikan. Hal ini dapat terjadi melalui pengurangan biaya overhead, penggabungan sistem teknologi informasi, dan optimalisasi rantai pasokan. Untuk sistem teknologi pasca konsolidasi disarankan menggunakan sistem IT yang telah digunakan oleh Bank Muamalat, karena Bank Muamalat untuk saat ini memiliki corebanking yang terbaik. Keempat, dengan ukuran yang lebih besar, bank hasil merger dapat memiliki lebih banyak sumber daya untuk bersaing dalam industri perbankan yang semakin kompetitif. Ini bisa termasuk kemampuan untuk melakukan investasi dalam teknologi yang lebih canggih, mengembangkan produk baru, dan meningkatkan jangkauan geografis. Kelima, jika merger berhasil dilakukan dengan baik dan memberikan hasil yang positif, hal ini dapat menghasilkan peningkatan nilai bagi pemegang saham kedua bank terlebih Bank Muamalat sudah tercatat sebagai Bank Terbuka dan dalam waktu dekat akan mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. Apabila merger ini berhasil dilakukan, maka Bank Muamalat dapat digunakan sebagai entitas cangkang. Untuk nama bank hasil merger dapat mempertahankan nama Bank Muamalat agar kekhawatiran mengenai hilangnya warisan pendahulu dalam melahirkan bank syariah di Indonesia dapat diminimalisir.
Namun perlu diingat bahwa proses merger harus dilakukan secara hati-hati dan tidak terburu-buru, setiap keputusan yang diambil harus berdasarkan strategi bisnis yang akan ditempuh dan bukan sekedar keputusan politik semata. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan kesuksesan merger dua bank syariah ini. Pertama, merger harus didasarkan pada strategi yang jelas dan dipahami oleh kedua belah pihak. Strategi tersebut harus mencakup tujuan merger, alasan strategis di balik penggabungan, serta rencana untuk mengintegrasikan operasi, sistem, dan karyawan. Kedua, kepemimpinan yang kuat dan efektif sangat penting dalam mengarahkan proses merger. Pemimpin harus mampu mengoordinasikan upaya integrasi, membangun budaya kerja yang harmonis, dan memotivasi karyawan dari kedua bank untuk bekerja sama menuju tujuan bersama.
Ketiga, integrasi operasional yang efisien adalah kunci untuk mencapai sinergi dan menghindari gangguan dalam pelayanan kepada nasabah.
Keempat, komunikasi yang jelas dan terbuka kepada semua pemangku kepentingan, termasuk karyawan, nasabah, pemegang saham, dan regulator, sangat penting untuk membangun kepercayaan dan meminimalkan ketidakpastian selama proses merger. Kelima, merger membawa risiko, termasuk risiko operasional, keuangan, hukum, dan reputasi. Penting bagi manajemen untuk melakukan evaluasi risiko yang cermat dan mengembangkan strategi mitigasi yang efektif untuk mengatasi risiko tersebut.
Penggabungan dua bank syariah ini diharapkan akan mampu menciptakan persaingan industri perbankan syariah yang sehat dan kompetitif. Ke depan proses konsolidasi ini sebaiknya diikuti pula dengan bank syariah lainnya, sehingga ke depan jumlah bank syariah tidak perlu banyak. Idealnya ke depan jumlah bank syariah di Indonesia tidak perlu banyak, jumlah bank syariah bisa berkisar 5 – 7 bank syariah namun memiliki aset diatas 500 triliun. Apabila hal ini dapat terwujud, maka bank syariah akan dapat berkontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia.
Penulis adalah Mohammad Nur Rianto Al Arif (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah)