Opini

Ketahanan Keluarga Fondasi Ketahanan Bangsa

Senin 11 Mei 2020 | 17:34 WIB
Oleh: Munawar

Kemerosotan moral dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur dan penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja membuat kita menyadari bahwa ketahanan keluarga meruapakan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Keluarga sejahtera selalu menjadi dambaan setiap orang. Dengan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, seseorang akan mampu menikmati hidup secara wajar dan menyenangkan karena kebutuhan materil dan spiritualnya terpenuhi.

Terwujudnya Keluarga yang Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju-mandiri, kesetaraan dan Keadilan Gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. Dengan menjadi keluarga yang sejahtera, seluruh anggota keluarga akan dapat mengembangkan diri sesuai potensi dan bakat yang dimiliki

Keluarga sejahtera selalu bercirikan ketahanan keluarga yang tinggi. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah kondisi dan dinamika sebuah keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil dan psikis-mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin.

Dalam mewujudkan ketahanan keluarga, semua anggota keluarga harus saling mendukung. Suami, anak teruatama perempuan yang berfungsi sebagai istri dan ibu. Tanpa dukungan wanita, kaum laki-laki/suami tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, apalagi seorang suami yang sering keluar meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Semua pekerjaan rumah dan merawat anak menjadi tugas dan tanggungjawab seorang ibu. Sehingga ibu yang menjadikan cerah dan buramnya keluarga.

Fungsi perempuan sebagai ibu sangat dibutuhkan. Fungsi mendidik bagi anak-anak sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan benar. Fungsi cinta kasih antara ibu-anak dan suami-istri, fungsi melindungi yaitu memberi rasa aman bagi anak sehingga merasa nyaman berada di rumah.

Banyak hal yang harus di perhatikan perempuan sebagai ibu. Pembinaan mental Spiritual, budi pekerti dan moral. Meningkatkan derajat kesehatan,  membiasakan hidup berencana dalam semua aspek kehidupan dan perencanaan ekonomi keluarga dengan membiasakan menabung.

Dalam hal kesehatan, ibu harus memperhatikan makanan bergizi, seimbang dan aman. Membiasakan makanan baik tanpa bahan pengawet kimia dan mengkonsumsi garam beryodium.

Dalam hal kelestarian lingkungan hidup. Halaman rumah yang asri, teratur, indah dan nyaman dapat membantu menambah sumber pangan dan sumber ekonomi keluarga.

Pada akhirnya, peran perempuan sebagai istri dan ibu merupakan kunci ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga menjadi fondasi ketahanan bangsa.

Mengatasi Diri

Mengatasi diri menjadi tantangan primer wanita. Dalam kepadatan aktifitas yang bertumpuk, mampukah wanita mengatasi dirinya? Rutinitas domestik menjadi medan belajar wanita untuk dapat bertindak kreatif dan penuh inisiatif. Kepadatan rutinitas itu memaksa wanita lupa pada posisi dan keadaan dirinya. Bukan berarti, tidak ada kesempatan untuk memahami dan mengerti keadaan diri dan bahkan mengembangkan potensi. Kebiasaan melakukan pelbagai hal dalam waktu bersamaan menjadi modal primer. Kreatifitas, inisitif, dan strategi adalah pola yang inten dilakoni wanita.

Pola demikian merupakan tahap pengenalan dan pemahaman diri. Dengan menyadari medan belajar tersebut, wanita akan melakukan aktifitas penuh tanggung jawab. Kepatuhan, ketaatan dan menerima keadaan bukan wujud kepasrahan, tetapi suatu pilihan atas kesadaran. Ketika seseorang melakukan sesuatu secara sadar, posisinya akan setara. Wanita melakukan kerjaan rumah atau lainnya, bukan faktor takut tidak hidup, kelemahan, atau kekurangannya. Hal itu secara langsung akan berpengaruh pada pria di rumah; tidak semena-mena, menghargai wanita, dan mengerti kondisinya, misal.

Proses mengatasi diri dilakukan dengan mengelola dan mengendalikan desakan emosi, mengembangkan wawasan, dan paham kondisi outlook. Jika wanita mampu melakoni hal itu, fungsi sebagai whisper sangat efektif. Harapan, dan keinginan atas kondisi dalam pandangannya relatif mudah terwujud. Lain hal pria, dengan kecenderungan fokus dan penuh pertimbangan, akan sangat memberatkan jika berhadapan dengan persoalan wilayah emotif. Emosi pada pria cenderung lebih dangkal, ambisi dan amarah misalnya.

Menimbang potensi dalam diri manusia setara, tanpa melihat jenis kelamin, untuk pencapaian sebagaimana pria, bukan mustahil. Posisi-posisi strategis bisa dicapai wanita. Akan tetapi upaya tersebut agaknya kurang efektif dilakukan. Sebab secara kodrati, wanita memiliki hambatan secara alami, fisiologi. Wanita tidak harus berada di puncak kebudayaan. Cukup mengasah kreatifitas dan inisiatif dari aktifitas rutin serta menjadi whisper atau pembimbing agar tercipta tatanan sosial budaya yang dikehendaki. Dengan demikian, wanita tidak harus lelah memegangi payung hingga panas patriarki hilang, panas secara otomatis berangsur surut.

Diskriminasi, pelecehan harkat perempuan tidak lahir dari jalanan, tetapi dari rumah-rumah. Sebab, para pelaku adalah orang-orang yang dididik dan dikelola oleh manager rumah tangga, wanita. Demikian pula pria dan budaya patriarki, layaknya menilai dan menempatkan “ibu budaya”nya pada harkat semestinya. Bahwa perbedaan tetap ada, bukan sebatas fisiologi, tetapi juga pada cara menyadari posisi masing-masing.

Berita Terkait

Komentar