Opini

Fakta Moneter Yang Mengejutkan

Minggu 26 Juni 2016 | 11:24 WIB
Oleh: Reghina Ni'mah Auliya Robby

Semua aspek kehidupan manusia dalam peradaban modern saat ini tidak terlepas dari uang. Tidak ada satupun di dunia ini yang tidak mengenal dan menggunakan uang. Kalaupun ada, maka perekonomian tersebut pasti akan stagnan dan tidak berkembang.

Peran uang dalam perekonomian dapat diibaratkan seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Tanpa darah, manusia seakan-akan mati. Kekurangan uang layaknya kekurangan darah yang dapat membuat hidup tidak bergairah dan pada akhirnya manusia bisa sewaktu-waktu amarah.

Maslow dalam 5 teori hierarkinya mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis disebut juga kebutuhan fisik. Contohnya, kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang mendorong si pelaku untuk mencapai kebutuhan di tingkat selanjutnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, cara yang paling mudah adalah dengan memiliki sesuatu yang berharga, yaitu uang. Karena dengan uang, kita dapat membeli kebutuhan hidup sehari-hari dan karena uang juga, kita bisa diterima dan dihargai di lingkungan masyarakat luas.

Sehingga secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah uang. Uang yang semula hanya berfungsi sebagai alat tukar dan standar satuan nilai ternyata berdampak juga terhadap fokus utama budaya manusia. Uang disebut-sebut sebagai benda yang dapat menentukan harkat dan martabat seseorang di tengah masyarakat. Uang adalah mesin pemuas keinginan dalam diri manusia. Uang dalam peran dan fungsinya telah berkembang secara pesat, tanpa mengenal batas, ras, bangsa dan negara. Uang telah ikut memberikan peran penting dalam proses perkembangan peradaban manusia secara global.

Seorang dramawan, Aphra Behn dalam bukunya The Rover (1677) menyebutkan “Uang berbicara dalam bahasa yang dimengerti semua bangsa”. Artinya uang yang notabene adalah benda mati, ternyata bisa mengendalikan hidup manusia. Hal ini bisa terjadi apabila manusia lupa akan fungsi dan peran uang yang sesungguhnya. Dengan uang ternyata kehidupan perekonomian suatu negara dapat terus stabil. Dengan uang ternyata manusia bisa membeli rasa aman. Dengan uang ternyata manusia bisa bersosialisasi, dihargai dan dihormati. Dengan uang ternyata manusia dapat mengekspresikan dirinya.

Oleh karena itu, manusia mengenal ilmu ekonomi dan manusia mempunyai keinginan untuk belajar ilmu ekonomi. Karena ilmu ekonomi adalah sebagai bentuk pedoman atau petunjuk dalam menjalankan kehidupan perekonomian. Tujuan manusia mempelajari ilmu ekonomi menurut Wonnacott adalah untuk mengatasi permasalahan ekonomi berupa pengangguran, gaji, hubungan ketenagakerjaan dan kesempatan kerja. Semuanya menjadikan pemerintah dan masyarakat mampu mengerti dan faham betul dalam mengatasi permsasalahan harga agar tidak sampai merugikan semua pihak dan untuk mencapai kesejahteraan hidup dengan pemerataan pendapatan.

Karena ekonomi moneter merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari tentang sifat, fungsi dan pengaruh uang terhadap kegiatan ekonomi. Maka, moneter selalu ada di sekeliling kita bahkan sangat mempengaruhi hidup kita. Misalnya saja saya mendapat total gaji sebesar Rp 150 juta per tahun. Dengan gaji sebesar itu, selain dapat memenuhi kebutuhan bulanan, saya juga masih bisa membeli handphone keluaran terbaru, membeli pakaian branded, dan liburan ke luar kota atau ke luar negeri.

Di tahun berikutnya, anggaplah gaji saya tetap Rp 150 juta. Akan tetapi, pada tahun itu ternyata saya tidak bisa membeli handphone keluaran terbaru. Bahkan, hanya dapat berlibur satu kali dalam setahun, itu pun hanya di dalam negeri saja. Apa yang terjadi? Ternyata harga-harga barang dan jasa seperti harga sembako dan tiket pesawat pada tahun itu lebih mahal dari tahun sebelumnya. Tahun tersebut ternyata sedang terjadi inflasi. Akibatnya, nilai mata uang kita menurun, kesejahteraan kita pun jatuh.

Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah dan bank sentral telah berupaya menurunkan laju inflasi di kisaran 3%, tetapi tak pernah berhasil. Inflasi Indonesia selalu diatas 5% dengan rata-rata sekitar 6%. Laju inflasi yang baik adalah ketika Inflasi dibawah 4% dan itu hanya terjadi ketika ada krisis yang melemahkan daya beli masyarakat. Inflasi dikatakan baik apabila bisa mencapai angka dibawah 4% dan inflasi yangbseperti itu akan memberi topangan yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Karena percuma saja pertumbuhan tinggi jika inflasinya juga tinggi. Hal itu sama saja seperti pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Jika inflasi tidak dikelola dengan baik, maka perekonomian akan cepat memanas dan kemudian terjadi hard landing yang amat ditakutkan di setiap negara. Ujung-ujungnya pertumbuhan melambat, pengangguran meningkat, menimbulkan krisis sosial dan politik. Inflasi tinggi hanya akan memperparah tingkat kesenjangan sosial.

Bagi orang borjuis, inflasi tinggi bisa jadi berkah karena akan menaikkan suku bunga dan timbal balik seluruh tabungan keuangan. Artinya, orang-orang yang berinvestasi di pasar uang saat inflasi tinggi akan mendapat untung besar dari rentetan bunga. Namun sebaliknya, orang miskin yang tak punya banyak uang, mereka akan semakin tak berdaya. Upah harian buruh yang harusnya bisa dibelikan makan keluarga dua kali sehari, akibat inflasi ternyata hanya cukup untuk dibelikan makan keluarga satu kali dalam sehari.

Kejadian lainnya adalah kenaikan suku bunga bank. Suku bunga bank di Indonesia termasuk salah satu suku bunga yang tertinggi di dunia. Di saat suku bunga deposito bank di Malaysia hanya 3% per tahun dan Singapura sebesar 2% per tahun, suku bunga deposito di Indonesia malah mencapai angka 7% per tahun. Akibatnya, selama puluhan tahun, suku bunga kredit perbankan Indonesia selalu berada di angka belasan persen, sementara bank-bank di negara lain sudah di level satu digit.

Kondisi ini membuat perusahaan-perusahaan Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar global. Barang-barang ekspor Indonesia kurang banyak diminati dan tidak dapat bersaing, apalagi dalam hal produk-produk industri yang sebenanrnya mempunyai nilai tambah. Tak heran, akhirnya Indonesia hanya bisa mengekspor barang-barang mentah atau setengah mentah yang memang tidak dimiliki negara lain.

Kombinasi dari inflasi rendah, suku bunga kredit single digit, dan likuiditas yang berlimpah ternyata telah membawa perekonomian Indonesia ke titik baru. Agar momentum perbaikan ekonomi dan ekspektasi pasar terus terjaga, BI pun memperkuat kerangka operasi moneter dengan menggunakan suku bunga kebijakan baru yakni BI 7-days Repo Rate mulai 19 Agustus 2016 yang lalu.

Kebijakan baru BI 7-day Repo Rate ini merupakan salah satu instrumen moneter yang aktif digunakan BI dalam operasi pasar terbuka (OPT). Instrumen ini bersifat transaksional antara BI dan perbankan dengan sistem repo atau repurchase agreement menggunakan Surat Berharga Negara (SBN) atau Surat Utang Negara (SUN). Dalam transaksi ini, bank menjual Surat Utang Negara-nya kepada BI dengan perjanjian akan dibeli lagi pada 7 hari mendatang. Pada saat pengembalian, bank akan membayar bunga yang ditetapkan BI atau bisa juga sebaliknya.

Bank sentral juga berharap, dengan adanya suku bunga kebijakan yang baru ini, kebijakan moneter menjadi lebih kuat lagi sehingga langsung bisa direspons pasar dan pendalaman pasar uang pun akan terjadi. Apabila ekonomi sudah bertumbuh dalam kondisi inflasi yang tetap rendah, maka akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang ditandai dengan penurunan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Tetapi dengan adanya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang diibaratkan keduanya adalah mesin pendorong bagi perekonomian maka, keduanya diharapkan mampu bekerja dengan baik. Agar senantiasa tercipta pertumbuhan negara yang berkualitas dan berkelanjutan.

Penulis adalah Reghina Ni'mah Auliya Robby, Mahasiswi Program Studi Manajemen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Berita Terkait

Komentar