Islam Indonesia menjadi bagian dari perilaku yang unik. Keunikan ini tampak dalam berbagai warna-warni dalam memilih gaya hidupnya. Sejatinya keunikan perilaku ini tampak terlihat dari pergeseran perilaku yang dilakukan middle class muslim yang ada di Indonesia. Warna-warni inilah yang menjadi bagian dari perubahan paradigma konsumen middle class muslim Indonesia yang tidak ditemukan di negara manapun, termasuk negara-negara yang menyatakan keislamannya, semisal Arab Saudi, Pakistan ataupun Iran.
Pergeseran ini dimulai dari pasar muslim di Indonesia yang terus berubah. Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dengan potensi konsumen yang luar biasa. Terlihat dari jumlah konsumen muslim di tanah air kini mencapai lebih dari 80 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, telah terjadi pergeseran perilaku konsumen muslim di kelas menengah Indonesia. Semakin makmur mereka, semakin berpengetahuan mereka, semakin melek teknologi, justru mereka semakin religius. Tak hanya tren berhijab, produk syariah, berzakat online, mereka juga hobi berumroh. Intinya, hanya produk-produk yang mampu memberikan manfaat spiritual saja yang jadi pilihan mereka.
Keadaan perilaku dalam memilih produk itu semakin berubah dan terus berubah. Dengan adanya cara-cara bersaing para produsen di pasar rasional telah mampu bertransformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke spiritual. Pada level intelektul perilaku pemasar telah merubah pikiran lebih spriritual. Namun pada level emosional para pemasar berusaha memahami dan menyentuh emosi atau perasaan konsumen. Namun pada level spiritual ini bisa dipahami sebagai bisikan nurani.
Perkembangan dunia pemasaran di dunia saat ini sedang bergejolak dengan adanya persepsi yang selama ini berkembang di benak masyarakat bahwa pasar non-syariah atau pasar konvensional selalu lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pasar syariah karena sistem bunganya. Pasar syariah sendiri hanya dipahami sebagai pasar untuk kaum muslim saja, pasar yang tertutup bagi kaum non-muslim. Pemahaman masyarakat umum akan peran pemasaran pun masih sempit.
Pasar muslim semakin menggeliat menjadi pasar yang besar di berbagai industri, seperti umroh, bank dan asuransi syariah, fesyen hijab, kosmetik halal, makanan halal, buku dan musik hingga hotel syariah. Mereka tak hanya mencari manfaat fungsional dan emosional (functional-emotional benefit), tapi juga semakin mencari manfaat spiritual (spiritual benefit) dari produk yang mereka beli dan konsumsi. (Yuswohady, 2014). Kalau dulu konsumen muslim kurang begitu peduli pada praktek riba dalam perbankan, kini mereka menjadi peduli untuk menghindari riba. Tercatat, bank syariah tumbuh pesat 40% per tahun.
Perilaku ini merubah pasar menjadi level spiritual yang menggunakan bahasa hati, dan konsep spiritual inilah yang merupakan inti perubahan paradigma perilaku konsumen middle class muslim saat ini. Bagi mereka perubahan perilaku ini sudah sesuai dengan bagian dari aspek kejujuran, empati, cinta, dan kepedulian terhadap agama.
Bagi mereka betapa indahnya sekiranya bisa dapat mengelola bisnisnya dengan hati yang bening. Kita menjalani hidup ini dan segala dinikmatinya dengan hati yang bersih. Kita akan memperoleh rejeki dari sumber yang halal, karena segala aktivitas kita dilandasi dengan niat yang baik, tanpa prasangka buruk, tanpa penipuan, tanpa kebohongan. Semuanya ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah SWT. (Herman K, Muh. Syakir Sula, 2008).
Para konsumen sudah mulai bosan dengan cara-cara produsen untuk bersaing yang sudah keluar dari bahasa hati. Saling menjelekan dan menjatuhkan pesaingnya. Dan tipuan berbagai bentuk sudah dilakukan, seperti suap menyuap untuk melariskan dagangannya dengan menyebarkan fitnah bahwa pesaingnya menggunakan barang haram dalam produksinya. Sikap seperti itu sudah merusak aqidah agama Islam. Peristiwa seperti itu mendorong berkembangnya produk berbasis syari’ah dengan konsep profhetic marketing.
Selain itu, jika dulu konsumen tak begitu peduli dengan makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli. Berdasarkan survei CMCS (2014), 95% konsumen kosmetik mengecek label halal. Begitu juga kaum wanita muslim kini semakin peduli untuk menutup auratnya. Dengan perubahan tersebut, dia menilai, marketer tidak bisa lagi mengabaikan pasar muslim ini.
Saat ini ada beberapa perubahan dan perilaku konsumen, yakni boom bank syariah, revolusi hijabers, kosmetik muslim kian kinclong, rutin berumroh, hotel syariah menjamur, kewirausahaan muslim, label halal jadi rebutan, dan terakhir adalah kian kaya, kian bersedekah.
Hasil kajian CMCS mengidentifikasikan delapan karakter konsumen menengah Indonesia. Pertama, The Aspirator, yang mencerminkan karakter idealis, memiliki tujuan, peduli, dan memiliki keinginan untuk memberi aspirasi. Kedua, The Performer. Istilah ini mencerminkan kalangan profesional dan entrepreneur yang terus berusaha mengejar karier (self achievement). Ketiga, The Expert. Sebutan bagai orang yang career-oriented, peduli untuk terus meningkatkan keahlian, sehingga pakar dalam menekuni profesinya. Keempat, The Climber. Istilah ini mencerminkan karakter economic-oriented, supaya kehidupannya jauh lebih baik.
Kelima, The Settler; menggambarkan konsumen yang sedikit bersosialisasi, tidak mengupdate informasi, tetapi tinggi resources (banyak uang). Keenam, The Flower. Kelompok ini kurang berpendidikan dan belum banyak terkoneksi. Dalam menghadapi perubahan ini mereka mengacu ke norma dan agama. Tujuh, The Trendsetter, menggambarkan pencipta inovasi dalam tren. Kelompok ini mapan, tetapi pendidikannya kurang. Umumnya adalah pedagang sukses. Kondisi mereka mapan, tetapi sulit dikembangkan baik dari koneksitas maupun pendidikannya. Terakhir, delapan, The Follower, yakni merek yang hanya mengikuti tren karena minimnya pengetahuan, tetapi pandai bersosialisasi.
Yang terpenting hasil kajian ini pemilik merek dan pemasar menjadi tahu adanya pergeseran perilaku atau tren masyarakat kelas menengah. Pemilik merek atau pemasar bisa mencari peluang dari keadaan itu. Mereka bisa membenahi merek dan strategi pemasaran, atau membuat produk yang sedang diinginkan pasar. Pesatnya perkembangan pasar muslim kelas menengah tak hanya tercermin dari urusan beli produk dan layanan. Menggeliatnya pasar tersebut juga tercermin dari makin getolnya mereka bersedekah dan membayar zakat. Sebagai sebuah solusi, perilaku konsumen syariah diimplementasikan dengan berbisnis mengikuti cara Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad sebagai seorang pedagang memberikan contoh yang baik dalam setiap transaksi bisnisnya.
Penulis adalah Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka dan Dosen FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta